Refleksi 75 Tahun Peradaban Indonesia Maju
Tujuh puluh lima tahun yang lalu, bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya. Setelah ratusan tahun hidup dalam belenggu penindasan, baik penindasan fisik maupun penindasan non fisik. Penindasan pemikiran berupa pembodohan, menjauhkan bangsa Indonesia dari sumber kemajuan ilmu pengetahuan, dan upaya adu domba antar anak bangsa, telah menjadikan bangsa Indonesia pada saat itu hidup dalam kegelapan. Pandemi Covid-19 yang datang tiba-tiba telah mendistrupsi seluruh sektor termasuk pemerintahan. Manajemen krisis menjadi hal yang harus digunakan sebagai dasar bertindak di tengah pandemi. Setidaknya itu yang berulang kali disebutkan oleh Presiden RI dalam beberapa kali kesempatan di depan kamera. Kendati Joko Widodo telah bicara dengan nada cukup tinggi kepada menteri-menterinya, tetap saja masih ada beberapa kementerian yang dianggap belum menerapkan “sense of crisis” dan masih bekerja seakan-akan situasi normal-normal saja.
Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi bencana non alam COVID-19 ini tentu dapat kita lihat dari perbedaan sikap antara menteri satu dengan menteri lainnya – juga soal kebijakan yang berubah tanpa dasar yang cukup jelas. Ditambah dengan bagian dari pemerintah yang tidak menggunakan “sense of crisis” dalam mengambil kebijakan di tengah pandemi. Pro kontra pun terjadi di tengah masyarakat akibat beberapa pengambilan keputusan yang dianggap merugikan masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Hal ini seakan memperlihatkan secara nyata bahwa memang pemerintah tidak siap dalam menghadapi serangan pandemi yang bisa dikatakan mendadak ini.
Sudah menjadi agenda negara bahwa pada beberapa menjelang hari kemerdekaan, Presiden RI menyampaikan pidato kenegaraannya. Pidato kenegaraan yang berisi seputaran progress yang sudah dan akan dicapai dalam jangka waktu dekat atau panjang ini tentu menjadi gambaran bagi rakyat untuk mengetahui ke arah mana pembangunan akan dibawa oleh pemimpin negara. Mari sejenak kita mengingat apa saja yang menjadi target pemerintah yang disampaikan langsung oleh Presiden pada 14 Agustus 2019.
Dikutip dari video yang diunggah oleh KOMPASTV yang dipublikasikan tanggal 16 Agustus 2019 dengan judul video Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi di Sidang Bersama DPD-DPR 2019, ada beberapa poin penting yang disampaikan oleh Presiden Jokowi seperti; Merubah cara kerja, merebut investasi berkualitas, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), penyederhanaan birokrasi dan regulasi, serta melakukan pencegahan dalam bidang korupsi.
Disrupsi Virus dan Stimulus Ekonomi
Kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19, ditambah dengan situasi geopolitik dunia yang berlangsung pada kuartal II-2020 ini, membuat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebagian besar negara di dunia melambat. Perang dagang yang masih berlanjut antara Amerika Serikat dan Tiongkok, pergolakan antara Tiongkok dengan wilayah Hong Kong semakin memberikan tantangan perbaikan ekonomi ke depan. Sementara itu, reopening economy yang mulai dilakukan sejalan dengan stimulus berskala besar, memicu sentimen positif pasar keuangan dan harga komoditas serta aliran modal menuju emerging market. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi masih penuh ketidakpastian, salah satunya dibayangi adanya second wave.
Tahun 2020, APBN telah diubah dengan defisit sebesar 5,07 persen dari PDB dan kemudian meningkat lagi menjadi 6,34 persen dari PDB. Pelebaran defisit dilakukan mengingat kebutuhan belanja negara untuk penanganan kesehatan dan perekonomian meningkat pada saat pendapatan negara mengalami penurunan. Pelemahan ekonomi domestik menuju skenario yang lebih berat, sebagai akibat dari laju penyebaran Covid-19 yang masih cukup tinggi dan aktivitas ekonomi masyarakat yang mengalami hambatan dan perlambatan, dengan diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa wilayah. Salah satu relaksasi dan stimulus ekonomi yang sudah diumumkan oleh Presiden Joko Widodo adalah penambahan nilai manfaat kartu sembako dari Rp150.000 menjadi Rp200.000 per bulan dan berbagai jenis Bansos. Kebijakan ini akan berlangsung selama sembilan bulan dan rencananya diberikan kepada 20 juta penerima, naik dari 15,2 juta orang yang saat ini terdaftar sebagai pemegang kartu sembako.
Meskipun secara umum mampu meredam gejolak sosial, namun demikian secara substansial ada sejumlah masalah yang patut dicermati. Bansos yang diberikan pemerintah tidak sepenuhnya mampu meng-cover kebutuhan hidup sehari-hari atau kebutuhan hidup layak (khl) per bulan. Sehingga masyarakat masih memerlukan kebutuhan lain. Misalnya untuk membeli bahan pangan, membayar listrik, juga kuota internet untuk belajar. Permasalahan lainya terkait distribusi sembako yang tidak sepenuhnya tepat sasaran. Banyak temuan dilapangan, masih ada warga/masyarakat yang seharusnya menerima Bansos namun tidak menerima, dan sebaliknya. Dalam kasus Jakarta, sudah menjangkau 1,2 juta keluarga. Atau sekitar 98,4 persen sehingga masih ada sekitar 1,6 persen belum menerima.
Efektifitas pemberian Bansos juga mengalami masalah pada sumber data penerima Bansos dari Kementerian Sosial atau Dinas Sosial/Dukcapil yang tidak sepenuhya valid. Karena belum diup-date serta dilakukan faktualisasi. Problem ini wajar karena Covid-19 terjadi secara mendadak dan ekses negatif yang ditimbulkannya sangat dahsyat. Sedangkan pemerintah belum sepenuhnya siap dengan data penerima distribusi Bansos secara akurat dan mutakhir. Dari sisi jadwal distribusi Bansos, masih belum sepenuhnya tertib. Berdasarkan pemantauan, Bansos sudah dua kali diturunkan oleh pemerintah pusat dan pemprov DKI Jakarta (Jumat (10/4). Sebegitu jauh, baik masyarakat khususnya Ketua RT/RW, belum mengetahui kapan lagi Bansos akan turun. Padahal bisa jadi diantara penerima Bansos tersebut ada yang sudah kehabisan stok pangan.
Diam-diam sahkan berbagai RUU, Diam-diam cabut berbagai RUU
Meski sempat ditunda pembahasannya karena aksi besar-besaran mahasiswa pada akhir tahun 2019 lalu, pada akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menjadi Undang-Undang. Pengesahan ini dilakukan dalam rapat paripurna yang dilaksanakan Selasa, 12 Mei 2020[1].
Hal ini tentu sangat disayangkan oleh banyak pihak, apalagi pembahasannya terkesan dikebut dan memanfaatkan momentum pandemi. Seolah pandemi menjadi katalis bagi DPR dalam mempermudah pengesahan RUU Minerba ini. Selain itu, hal yang mengganjal adalah tak dilibatkannya masyarakat dalam proses pengesahan RUU ini. UU Minerba hasil revisi juga tidak dibahas berdasarkan masalah pertambangan yang ada di masyarakat, mulai dari masalah izin tambang yang banyak berada di kawasan hutan lindung atau hutan produksi. Kemudian, konflik antarwarga yang terus meningkat karena aktivitas pertambangan serta masalah tambang yang terhubung langsung dengan kawasan berpotensi menimbulkan bencana. Momentum ini tentu menegaskan bahwa dalam pengambilan keputusan DPR tidak menggunakan “sense of crisis” tak pula ber-empati terhadap penderitaan rakyat yang tengah berjuang keluar dari krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19.
Kemunculan pengesahan RUU yang kemudian menjadi polemik adalah RUU HIP. Kehadiran RUU ini menjadi rancu mengingat peran Pancasila sebagai dasar negara menjadi kabur. Selain itu, represi di ranah intelektual, diruang akademik berdalih ‘war on radicalism’ telah memasung kemerdekaan berfikir, kemerdekaan bersikap, kemerdekaan bertindak, yang pada saat penjajahan hal ini merupakan cita yang diidamkan. Berfikir kritis menjadi seperti barang langka, jika pun ditemukan harus membayarnya dengan harga yang mahal, diantaranya wajib menebus kebebasan berbicara dengan represi dan sejumlah kriminalisasi.
Padahal, menurut Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut permasalahan Indonesia bukan radikalisme. Menurutnya, pokok persoalan terjadinya gejolak yang terjadi belakangan ini adalah persoalan ketimpangan sosial akibat stagnasi perekonomian global yang serius. Jika tidak ada perubahan yang fundamental, dimana pemerintah melakukan terobosan-terobosan yang luar biasa, stagnasi akan terus terjadi. Masa depan Indonesia akan suram (gloomy). Pernyataan ini sangat relevan dengan problem yang dihadapi bangsa Indonesia. Ancaman Resesi sudah didepan mata, namun bangsa ini masih saja disibukkan dengan isu Radikalisme yang tak jelas juntrungannya.
Peningkatan Kualitas SDM Masih Dalam Tahap Wacana, Pendidikan entah kemana
Pandemi COVID-19 yang hadir di Indonesia pada awal tahun 2020 juga sangat berdampak pada proses belajar mengajar peserta didik di semua tingkatan tanpa terkecuali. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menjadi salah satu solusi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dipimpin oleh Nadiem Makarim pun menuai polemik yang tak berkesudahan. Ketidaktersediaan fasilitas yang memadai dan merata di setiap daerah menjadi kendala utama dalam penerapan PJJ ini.
Ditambah dengan mundurnya beberapa organisasi besar yang mulanya diharapkan menjadi mitra dalam meningkatkan kualitas SDM seperti Muhammadiyah, NU dan PGRI dalam Program Organisasi Penggerak (POP) pun menuai sorotan tajam. Kesan janggal menjadi salah satu faktor mengapa organisasi-organisasi tersebut memutuskan untuk mundur dari program yang menjadi turunan dari “Merdeka Belajar” yang dipopulerkan oleh Nadiem Makarim akhir tahun lalu. Padahal Kemdikbud sudah mengalokasikan dana sebesar Rp. 567 Miliar per tahunnya untuk program ini. Uang ini akan diberikan kepada organisasi terpilih untuk membiayai pelatihan atau kegiatan lain yang sesuai dengan visi program. Situs resmi POP juga menyebutan bahwa pada tahun 2020-2022, program ini akan dapat meningkatkan kompetensi 50 ribu guru di 5 ribu sekolah hingga tingkat SMP[2].
Permasalahan pada tataran perguruan tinggi, swasta maupun negeri melanda hampir semua mahasiswa, dari mulai kesulitan mengikuti kegiatan pembelajaran via daring karena keterbatasan kuota, sampai dengan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, terutama bahan pangan sehari-hari. Banyak kampus-kampus tidak melakukan keringanan biaya, berujung pada demonstrasi bahkan Drop Out dari pihak rektorat yang antikritik. Pemerintah melalui Lembaga yang berwenang dinilai masih belum fokus dalam melihat problema diatas, penyampaian kritik berujung drop out adalah bentuk pengabaian dan kemunduran dari praktik kedewasaan berdemokrasi di lingkungan pendidikan Indonesia masa kini bahkan ketika pandemi.